BAB I
PENDAHALUAN
1.1. LATAR
BELAKANG
Setiap
orang yang hidup sudah pasti membutuhkan biaya untuk dapat menyambung hidupnya.
Untuk bisa mendapatkan biaya tersebut setiap orang harus mencari dan melakukan
pekerjaan. Bekerja dapat dilakukan secara sendiri maupun bekerja pada orang
lain. Di dalam melakukan sebuah pekerjaan, tentunya terdapat hubungan kerja
antara pekerja dan pengusahanya, dimana hubungan kerja tersebut dituangkan ke
dalam suatu bentuk perjanjian atau kontrak kerja.di dalam kontrak kerja
tersebut memuat apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pekerja dan
pengusahanya seperti pendapatan upah/ gaji dan keselamatan kerja.
Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) adalah salah satu hal dalam dunia ketenagakerjaan yang
paling dihindari dan tidak diinginkan oleh para pekerja/buruh yang masih aktif
bekerja. Untuk masalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi sebab berakhirnya
waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja tidak menimbulkan
permasalahan terhadap kedua belah pihak yaitu pekerja dan pengusahanya karena
antara pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahiu saat
berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing telah berupaya
mempersiapkan diri menghadapi kenyataan tersebut.
Berbeda
halnya dengan masalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi secara sepihak
yaitu oleh pihak pengusahanya. Harapan untuk mendapatkan penghasilan dan
memenuhi kebutuhan hidup telah pupus begitu saja lantaran terjadinya PHK yang
tidak disangka-sangka oleh para pekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan
politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian
yang berdampak pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja
berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak
terencana. Namun, mau tidak mau para pekerja/buruh harus menerima kenyataan
bahwa mereka harus menjalani PHK.
Dalam
menjalani pemutusan hubungan kerja, pihak-pihak yang bersangkutan yaitu
pengusaha dan pekerja/buruh harus benar-benar mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan PHK, terutama untuk para pekerja/buruh, agar mereka bisa
mendapatkan apa yang menjadi hak mereka setelah di PHK.
1.2. RUMUSAN
MASALAH
1. Apakah
pengertian dari PHK?
2. Bagaimana
ketentuan-ketentuan PHK menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan?
3. Apa
saja jenis-jenis PHK?
4. Bagaimana
mekanisme atau proses penyelesaian PHK?
5. Apa
saja yang kompensasi yang didapatkan oleh pekerja/buruh yang di PHK?
BAB II
PEMBAHASAN
1) PENGERTIAN
PHK
Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja antara perusahaan dengan
pekerja yang terjadi karena berbagai sebab. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian PHK adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara buruh/pekerja dengan pengusaha. (Husni, 2003)
Sedangkan
menurut Halim (1990: 136) bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah suatu
langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal
tertentu. Menurut Pasal 1 ayat 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.
KEP-15A/MEN/1994, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ialah pengakhiran hubungan
kerja antara pengusaha dan pekerja berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia
Pusat.(Khakim,2003)
2) KETENTUAN
PHK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003
Pasal
153 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyebutkan Pengusaha dilarang
melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
1. Pekerja/buruh
berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus,
2. Pekerja/buruh
berhalangan menjalankan pekerjaannya Karena memenuhi kewajiban terhadap negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
3. Pekerja/buruh
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya,
4. Pekerja/buruh
menikah,
5. Pekerja/buruh
perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya,
6. Pekerja/buruh
mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya
di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,
7. Pekerja/buruh
mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam
kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau bedasarkan
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama,
8. Pekerja/buruh
yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha
yang melakukan tindak pidana kejahatan,
9. Karena
perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan,
10. Pekerja/buruh
dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena
hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud di atas batal
demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan. (Husni, 2010)
3) JENIS-JENIS
PHK
Dalam
literatur Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis PHK
yaitu:
a. Pemutusan
hubungan kerja oleh pengusaha
Pengusaha
dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
1. Melakukan
penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
2. Memberikan
keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
3. Mabuk,
meminum-minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
4. Melakukan
perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
5. Menyerang,
menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di
lingkungan kerja;
6. Menbujuk
teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
7. Dengan
ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
perusahaan yang menimbukan kerugian bagi perusahaan;
8. Dengan
ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan
bahaya di tempat kerja;
9. Membongkar
atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk
kepentingan negara; atau
10. Melakukan
perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih (Pasal 158 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Kesalahan
berat dimaksud harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
1. Pekerja/buruh
tertangkap tangan;
2. Ada
pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan;
3. Bukti
lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi.
b. Pemutusan
hubungan kerja oleh buruh/pekerja
Pekerja/buruh
dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan
perbuatan sebagai berikut:
1. Menganiaya,
menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
2. Membujuk
dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
3. Tidak
membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih;
4. Tidak
melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
5. Memerintahkan
pekerja/buruh untuk melaksakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. Memberikan
pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan
pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian
kerja (Pasal 169 ayat 1)
Pekerja
/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan pengunduran diri atas
kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri
sebagaimana dimaksud di atas harus memenuhi syarat:
1. Mengajukan
permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. Tidak
terikat dalam ikatan dinas;
3. Tetap
melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
c. Hubungan
kerja putus demi hukum
Selain
pemutusan kerja oleh pengusaha, buruh/pekerja, hubungan kerja juga dapat
putus/berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan
sendirinya dan kepada buruh/pekerja, pengusaha tidak perlu mendapatkan
penetapan PHK dari lembaga yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 154
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut:
1. Pekerja/buruh
masih dalam masa percobaan kerja, bila mana telah dipersyaratkan secara
tertulis sebelumnya;
2. Pekerja/buruh
mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri
tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama
kali;
3. Pekerja/buruh
mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam peerjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan; atau
4. Pekerja/buruh
meninggal dunia.
5. Pemutusan
hubungan kerja oleh pengadilan
Yang
dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah pemutusan
hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan
(majikan/buruh) berdasarkan alasan penting. Alasan yang penting adalah
disamping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon
atau perubahan keadaan di mana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa
sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja. (Husni, 2010)
4) MEKANISME
PELAKSANAAN PHK
Pemberhentian
Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan harus dilakukan dengan baik dan sesuai
dengan regulasi pemerintah yang masih diberlakukan. Namun karena terkadang
pemberhentian terjadi akibat konflik yang tak terselesaikan maka menurut Umar
(2004) pemecatan secara terpaksa harus sesuai dengan prosedur sebagai berikut:
1. Musyawarah
karyawan dengan pemimpin perusahaan.
2. Musyawarah
pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.
3. Musyawarah
pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4D.
4. Musyawarah
pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4P.
5. Pemutusan
hubungan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri. (Rahardjo, 2013)
Berikut
adalah prosedur PHK menurut UU No 13 Th 2003:
1. Pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah,dengan segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (Pasal
151
Ayat
1)
2. Dalam
hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh. (Pasal 151 Ayat 1)
3. Jika
perundingan berhasil, buat persetujuan bersama
4. Jika
tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan secara tertulis
disertai dasar dan alasan- alasannya kepada pengadilan hubungan industrial
(Pasal 151 ayat 3 dan Pasal 152 Ayat 1)
5. Selama
putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan,
baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya (Pasal 155 ayat 2)
6. Pengusaha
dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berupa tindakan skorsingkepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses
pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak
lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh (Pasal 155 ayat 3). ( Zurnali, 2011)
Pasal
16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001
tentang perubahan atas beberapa pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Kep-150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di perusahaan
menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan hubungan kerja dalam suatu
perusahaan.
Adapun
prosedur untuk Pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut :
1. Sebelum
ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat,
pengusaha dapat melakukan skorsing kepada pekerja/buruh dengan ketentuan
skorsing telah diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
2. Dalam
hal pengusaha melakukan skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pengusaha
wajib membayar upah selama skorsing paling sedikit sebesar 75% (tujuh puluh
lima perseratus) dari upah yang diterima pekerja/buruh.
3. Skorsing
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dan
disampaikan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan dengan alasan yang jelas,
dan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan harus diberikan kesempatan membela
diri.
4. Pemberian
upah selama skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan.
5. Setelah
masa skorsing sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir, maka pengusaha
tidak berkewajiban membayar upah, kecuali ditetapkan lain oleh Panitia Daerah
atau Panitia Pusat.
Pasal
17A Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-78 /Men/2001
menyatakan :
1. Dalam
hal pengusaha mengajukan permohonan ijin pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetapi tidak melakukan skorsing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1), maka selama ijin pemutusan hubungan kerja belum
diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat, pekerja/buruh harus tetap
melakukan pekerjaannya dan pengusaha membayar upah pekerja/buruh selama proses
100% (seratus perseratus).
2. Dalam
hal terjadi pemutusan hubungan kerja tetapi pengusaha tidak mengajukan
permohonan ijin, pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dan pemutusan hubungan kerja tersebut menjadi perselisihan, maka
sebelum ada putusan Panitia Daerah atau Panitia Pusat, upah pekerja/buruh
selama proses dibayar 100% (seratus persen). (anonim, 2009)
5) KOMPENSASI
BAGI PEKERJA YANG DI PHK
Bila
seorang pekerja di PHK ada 4 komponen yang dipakai sebagai kompensasi PHK yaitu
:
1. Uang
Pesangon, yaitu pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai
akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja.
2. Uang
Penghargaan Masa Kerja (UPMK), adalah pemberian uang dari pengusaha kepada
pekerja sebagai penghargaanberdasarkan masa kerja akibat adanya PHK.
3. Uang
Ganti Kerugian, adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja/buruh sebagai ganti istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya
perjalanan pulang tempat di mana pekerja diterima bekerja, fasilitas
pengobatan, dan fasilitas perumahan.
4. Uang
Pisah, adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh atas
pengunduran diri secara baik-baik dan mengikuti prosedur sesuai ketentuan yaitu
ditujukan secara tertulis 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri yang besar
nilainya berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.(Adisu, 2008)
Perhitungan
uang pesangon diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagai berikut:
1. Masa
kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
2. Masa
kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2(dua) tahun, 2 (bulan)
upah;
3. Masa
kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
4. Masa
kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
5. Masa
kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima)
bulan upah;
6. Masa
kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
7. Masa
kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah;
8. Masa
kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
9. Masa
kerja 8 (delapan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 9
(sembilan) bulan upah.
Perhitungan
uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:
1. Masa
kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
2. Masa
kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
3. Masa
kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4
(empat) bulan upah;
4. Masa
kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun,
5 (lima) bulan upah;
5. Masa
kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)
tahun, 6 (enam) bulan upah;
6. Masa
kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh
satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
7. Masa
kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh
empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
8. Masa
kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 27 (dua puluh
tujuh) tahun, 9 (sembilan) bulan upah;
Sedangkan
uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh buruh/pekerja meliputi:
1. Cuti
tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
2. Biaya
atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana
pekerja/buruh diterima bekerja;
3. Penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas persen)
dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi
syarat;
4. Hal-hal
lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama (Pasal 154 ayat 4).
Komponen
upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda,
terdiri atas:
1. Upah
pokok;
2. Segala
macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh
dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada
pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh
dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian
dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
Dalam
hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas perhitungan harian, maka
penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari (Pasal 157
ayat 2). Sedangkan untuk upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan
satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah
sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir,
dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau
kabupaten/kota. Bagi pekerjaan yang tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya
didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah
rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir. (Husni, 2010)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja antara
perusahaan dengan pekerja yang terjadi karena berbagai sebab.
2)
PHK merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, khususnya dari
kalangan pekerja/buruh karena akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi
diri dan keluarga.
3)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibuat untuk menjamin
terpeliharanya hak-hak buruh/pekerja dalam sebuah hubungan kerja, sehingga
tidak terjadi penzaliman dari yang lebih kuat kepada yang lebih lemah.
4)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
dijelaskan bahwa PHK dapat terjadi karena bermacam sebab.
5)
Semua pihak yang bersangkutan dalam pelaksanaan PHK baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan PHK.
DAFTAR PUSTAKA
1)
Adisu, Edytus.2008. Hak Karyawan atas Gaji dan Pedoman Menghitung: Gaji
Pokok, Gaji Lembur, Gaji Sundulan, Intensif-Bonus-THR, Pajak
atas Gaji, Iuran Pensiunan-Pesangon, Iuran Jamsostek/Dana Sehat. Jakarta:
Niaga Swadaya.
2)
Anonim. 2009. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja.
http://advokatku.blogspot.com/2009/06/prosedur-pemutusan-hubungan-kerja.html.
Diakses pada tanggal 2 Januari 2014.
3)
Husni, Lalu. 2010. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
4)
Khakim, Abdul. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
5)
Raharjo, Joko. 2013. Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia. Platinum.
6)
Zurnali, cut. 2011. PHK dan Penerapan Hak-Hak Pekerja/Buruh.
http://www.slideshare.net/cutzurnali/cut-zurnali-phk-dan-penerapan-hakhak-pekerjaburuh.
Diakses pada tanggal 2 januari 2014.